JAKARTA - Pernahkah kita menghabiskan waktu berjam-jam menggulir (scrolling) video pendek di TikTok atau Reels, lalu merasa pikiran menjadi kosong, sulit berkonsentrasi, dan bahkan secara tidak sadar mengucapkan istilah aneh seperti "skibidi" atau "rizz" dalam percakapan sehari-hari? Jika ya, bisa jadi kita sedang merasakan apa yang oleh budaya internet disebut sebagai "brain rot" atau "pembusukan otak".
Meski terdengar ekstrem, fenomena ini adalah keluhan nyata yang dirasakan banyak orang di era digital. Ini bukan diagnosis medis, melainkan sebuah label untuk menggambarkan dampak mental dari konsumsi konten online berkualitas rendah secara berlebihan.
Mari kita kupas tuntas apa itu brain rot, mengapa ini bisa terjadi pada siapa saja, dan bagaimana cara mengambil kembali kendali atas fokus dan pikiran kita.
Apa Sebenarnya Brain Rot Itu?
Brain rot adalah istilah slang untuk menggambarkan kondisi mental yang terasa menurun akibat paparan terus-menerus terhadap konten yang tidak bernilai, absurd, atau terlalu merangsang di internet. Konten ini biasanya berdurasi sangat pendek, repetitif, dan tidak memerlukan pemikiran kritis untuk menikmatinya.
Akibatnya, otak kita menjadi terbiasa dengan stimulasi instan dan kehilangan "otot" untuk fokus pada hal-hal yang lebih kompleks dan membutuhkan perhatian jangka panjang, seperti membaca buku, belajar, atau bahkan menonton film tanpa memeriksa ponsel.
Tanda-tanda Umum Fenomena Brain Rot
Fenomena ini bukanlah sesuatu yang terjadi dalam semalam. Ini adalah hasil dari kebiasaan digital yang menumpuk. Berikut adalah beberapa "gejala" yang sering dikaitkan dengan brain rot:
Rentang Perhatian Sangat Pendek: Merasa sangat sulit untuk fokus pada satu tugas selama lebih dari beberapa menit. Pikiran mudah teralihkan.
1. Ketergantungan pada Scrolling
Muncul perasaan gelisah atau bosan jika tidak memegang ponsel dan menggulir feed media sosial.
2. Menggunakan Slang Internet di Dunia Nyata
Istilah atau lelucon dari meme (seperti gyat, fanum tax, NPC) masuk ke dalam kosakata harian secara kompulsif.
3. Penurunan Kemampuan Berpikir Kritis
Terasa lebih sulit untuk memproses informasi yang rumit atau mengikuti alur argumen yang panjang.
4. Perasaan "Berkabut" (Brain Fog)
Merasa mental lelah dan pikiran tidak setajam biasanya, seolah-olah ada kabut yang menghalangi kejernihan berpikir.
Mengapa Ini Bisa Terjadi? Akar Masalah Fenomena Brain Rot
"Brain rot" bukanlah kesalahan individu semata. Ada kekuatan besar di balik layar yang dirancang untuk membuat kita terus terpaku pada layar:
1. Algoritma yang Dirancang untuk Kecanduan
Platform seperti TikTok dan Instagram menggunakan algoritma canggih yang mempelajari preferensi penggunanya untuk menyajikan aliran konten tanpa akhir yang paling mungkin menahan perhatian.
2. Jebakan Dopamin
Setiap video lucu atau menarik memberikan otak kita sedikit hadiah berupa dopamin, hormon kesenangan. Ini menciptakan siklus yang membuat kita terus mencari "hadiah" berikutnya, mirip dengan cara kerja mesin slot.
3. Konten Berdurasi Super Pendek
Format video vertikal yang singkat melatih otak kita untuk mengharapkan gratifikasi dalam hitungan detik. Ketika dihadapkan dengan sesuatu yang membutuhkan waktu lebih lama untuk diproses, otak kita cenderung "menyerah".
Cara "Detoks" dari Brain Rot: 5 Langkah Mengambil Kembali Kendali
Bagi yang merasa terjebak dalam siklus brain rot, jangan khawatir, ini sepenuhnya bisa diatasi. Kuncinya adalah kesadaran dan tindakan nyata untuk membangun kebiasaan digital yang lebih sehat.
1. Lakukan Detoks Digital Terjadwal
Tentukan waktu spesifik setiap hari di mana ponsel sama sekali tidak disentuh. Mulailah dari 30 menit, lalu tingkatkan secara bertahap. Gunakan waktu ini untuk berjalan-jalan, berbicara dengan keluarga, atau sekadar diam mengamati sekitar.
2. Kurasi Ulang "Asupan" Konten
Media sosial adalah alat. Kitalah yang memegang kendali. Berhenti mengikuti (unfollow) akun-akun yang hanya menyajikan konten "sampah". Sebaliknya, ikuti kreator, seniman, atau edukator yang kontennya memberikan nilai tambah, menginspirasi, atau mengajarkan sesuatu yang baru.
3. Latih Kembali "Otot" Fokus
Otak, seperti otot, perlu dilatih. Mulailah kembali aktivitas yang membutuhkan konsentrasi jangka panjang:
- Membaca buku fisik selama 15 menit tanpa gangguan.
- Menonton film atau dokumenter tanpa membuka ponsel.
- Mengerjakan teka-teki seperti sudoku atau catur.
- Mendengarkan podcast atau audiobook yang mendalam.
4. Batasi Notifikasi yang Tidak Penting
Matikan notifikasi dari aplikasi media sosial. Notifikasi adalah "pencuri" perhatian nomor satu. Dengan mematikannya, aplikasi akan dibuka berdasarkan keinginan sendiri, bukan karena pancingan getaran atau suara dari ponsel.
5. Kembali ke Dunia Nyata
Cara terbaik melawan dampak buruk dunia digital adalah dengan terhubung kembali ke dunia fisik. Habiskan waktu untuk hobi yang tidak melibatkan layar, seperti berolahraga, memasak, melukis, atau bertemu teman secara langsung.
Kesimpulan
Fenomena "brain rot" adalah pengingat penting bahwa apa yang kita konsumsi secara digital sama pentingnya dengan apa yang kita makan. Ini bukan tentang meninggalkan internet sepenuhnya, melainkan tentang menjadi pengguna yang lebih sadar dan bijaksana.
Dengan mengambil langkah-langkah kecil untuk mengkurasi konten dan melatih kembali fokus, siapa pun dapat menghindari "pembusukan otak" dan membangun kehidupan digital yang lebih sehat, lebih cerdas, serta lebih memuaskan.
Ikuti Artikel Terbaru Kawula ID di Google News