Surabaya, KAWULA ID – Meski bukan Penyakit Tidak Menular (PTM), namun jumlah penderita Talasemia kian mengkhawatirkan.
Talasemia adalah kelainan darah turunan yang membuat tubuh tidak mampu memproduksi hemoglobin secara normal. Tanpa hemoglobin, sel darah merah tak bisa menjalankan tugasnya mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh.
Akibatnya, penderita mengalami anemia berat dan berbagai komplikasi lain. Talasemia mayor merupakan bentuk paling parah dari penyakit ini, yang membutuhkan transfusi darah seumur hidup.
Berdasarkan catatan dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jawa Timur menduduki posisi ke empat daftar dengan jumlah kasus talasemia mayor tertinggi di Indonesia, dengan jumlah 771 orang.
Dalam webinar peringatan Hari Talasemia Sedunia, Selasa (20/5/2025) yang juga bisa diakses dalam Kanal YouTube resmi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Ketua Tim Kerja Penyakit Kelainan Darah dan Imunologi Kemenkes Endang Lukitosari menjelaskan dalam delapan tahun terakhir, kasus Talasemia melonjak signifikan. Bahkan peningkatan paling tajam terjadi pada tahun 2022, yakni sebanyak 12.155 orang mengidap talasemia, naik dari yang semula 10.973 pada tahun 2021. Dari seluruh provinsi di Indonesia, Jawa Barat mencatat jumlah penderita tertinggi, nyaris separuh dari total kasus nasional, yakni sebanyak 4.717 orang.
"Artinya, memang perkiraan 2.500 bayi lahir setiap tahunnya sebagai penyandang talasemia mayor ini kemungkinan benar adanya," ujarnya.
Menurut Endang, para pengidap Talasemia yang tidak menjalani skrining dan pengobatan secara konsisten sangat berisiko mengalami komplikasi serius. Komplikasi medis tersebut meliputi gangguan jantung, kerusakan hati, kelainan hormon, osteoporosis, hingga infeksi.
Perawatan Talasemia mayor juga menguras biaya dan tenaga. Penderita harus menjalani transfusi darah rutin dan terapi kelasi besi secara berkala.
"Kalau kita tidak melakukan upaya pencegahan berupa skrining, ini tentunya ada komplikasi medis, dan juga ada komplikasi non medis karena terjadi perubahan fisik. Kemudian juga memerlukan upaya waktu pengobatan seumur hidup, dan ada stigma kemungkinan menjadi penghambat," jelas Endang.
Dari sisi pembiayaan, penyakit ini juga menjadi tantangan besar bagi negara. Satu orang penyandang talasemia mayor membutuhkan biaya sekitar Rp5 miliar dari lahir hingga usia 18 tahun. Tak mengherankan, Talasemia menduduki posisi kelima sebagai penyakit katastropik dengan pembiayaan tertinggi di Indonesia pada 2021.
Sisi (bukan nama sebenarnya) salah seorang Ibu yang memiliki anak dengan talasemia menjelaskan ia harus rutin berobat ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan dan juga donor darah, demi anaknya bisa tetap hidup. Saat ini, usia anaknya sudah 8 tahun dan duduk di kelas 3 SD.
"Saya tahu anak kedua saya menderita talasemia sejak ia umur 4 tahun. Saat itu, hati saya hancur. karena saya merasa kakaknya sehat-sehat saja, namun adiknya malah terkena talasemia. Tapi, karena saya lihat anak kedua saya ini semangat untuk hidup, saya bertekad untuk mencari uang demi pengobatannya, yang kita tahu, itu tidak murah. Sekali berobat saja, minimal 5 sampai 12 juta rupiah. Padahal satu bulan bisa 3 sampai 6 kali berobat," terangnya.
Untuk itu, sebagai langkah pencegahan, Kemenkes RI terus mendorong masyarakat untuk melakukan skrining talasemia sejak dini, terutama sebelum menikah. Tes ini cukup dilakukan sekali seumur hidup, namun dapat mencegah lahirnya generasi yang harus menjalani hidup dengan ketergantungan pada transfusi darah dan obat-obatan seumur hidup.
Lima wilayah dengan jumlah kasus talasemia mayor tertinggi di Indonesia Data Kemenkes menunjukkan, dari seluruh wilayah Indonesia, Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah pengidap talasemia mayor paling banyak, mencapai lebih dari sepertiga kasus nasional dengan jumlah penderita mencapai 4.717 orang.
Sementara Jawa Tengah menduduki posisi kedua terbanyak se-Indonesia dengan jumlah penderita 1.468 orang. Disusul DKI Jakarta dengan jumlah penderita 864 orang. Sedangkan Jawa Timur berada di posisi ke lima dengan penderita 771 orang. Sementara wilayah Kalimantan hingga Nusa Tenggara jumlah kasus paling sedikit. (DN)
Ikuti Artikel Terbaru Kawula ID di Google News