KAWULA ID – Rencana kontroversial kembali muncul dari lingkaran Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Kali ini, Trump dikabarkan tengah mendorong usulan pemindahan massal sekitar satu juta warga Palestina dari Jalur Gaza yang terkepung ke Libya, negara yang masih berjuang keluar dari krisis berkepanjangan sejak runtuhnya rezim Muammar Gaddafi.
Dihimpun berbagai sumber, menyebutkan bahwa sejumlah pejabat tinggi AS di era Trump telah mendiskusikan rencana ini secara serius, bahkan sampai ke meja pemimpin Libya.
Setidaknya lima sumber yang mengetahui rencana tersebut mengungkapkan bahwa negosiasi telah menyentuh isu krusial, yakni imbalan berupa pencairan dana Libya senilai miliaran dolar yang selama ini dibekukan oleh AS.
Bahkan tiga dari lima sumber tersebut menyebut, jika Libya bersedia menerima warga Palestina yang mengungsi, dana tersebut akan langsung dicairkan. Sementara itu, pihak Israel juga disebut mengikuti perkembangan wacana ini, walau belum ada kesepakatan final.
Trump sendiri sempat melontarkan pernyataan yang mendukung gagasan transformasi besar-besaran di Gaza. Dalam kunjungannya ke Qatar, ia menyebut bahwa Gaza seharusnya diambil alih oleh AS dan dijadikan ‘zona kebebasan’.
“Saya punya konsep yang luar biasa untuk Gaza. Buatlah itu zona kebebasan. Biarkan Amerika Serikat yang mengelolanya. Gaza, setiap waktu, setiap 10 tahun, selalu terjadi lagi, bahkan lebih dari itu. Sebenarnya terus berulang. Itu tidak pernah menyelesaikan masalah Gaza,” kata Trump
Namun, seorang pejabat Gedung Putih membantah laporan tersebut, menyebutnya "tidak benar" tanpa merinci bagian mana yang keliru.
Di sisi lain, seorang mantan pejabat AS mengonfirmasi bahwa jumlah warga Palestina yang bersedia pindah secara sukarela masih belum jelas. Pemerintah AS juga disebut tengah mempertimbangkan insentif berupa tempat tinggal gratis dan tunjangan.
Libya sendiri tengah menghadapi ketegangan baru di Tripoli. Bentrokan antar kelompok bersenjata kembali pecah minggu ini, dipicu oleh kematian Abdel Ghani al-Kikli, tokoh milisi berpengaruh. Meski gencatan senjata berhasil dicapai, namun situasi di lapangan tetap rapuh.
Jika benar dijalankan, rencana Trump ini bukan hanya menimbulkan krisis kemanusiaan baru, tetapi juga berpotensi memicu ketegangan diplomatik di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Pemindahan paksa dalam jumlah besar dengan latar konflik bisa dianggap melanggar hukum internasional dan membuka bab baru dalam kontroversi panjang kebijakan luar negeri Trump.
Ikuti Artikel Terbaru Kawula ID di Google News