Melihat Karakteristik Gaya Arsitektur Islam dan Melayu Melalui Keseimbangan Budaya dan Masyarakat Setempat: Studi Kasus Aceh dan Medan

Senin, 15 Desember 2025 | 22:46:21 WIB
Masjid Raya Al-Mashun / Foto: Istimewa

JAKARTA - Arsitektur Nusantara memiliki kekayaan budaya dan sejarah yang mendalam, dengan berbagai gaya dan bentuk bangunan yang unik di setiap wilayah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, arsitektur Nusantara tidak hanya mencerminkan keindahan estetika, tetapi juga mengandung nilai-nilai filosofis dan spiritual yang mendalam. Dalam konteks ini, perbandingan antara gaya arsitektur di Aceh dan Medan menjadi sangat menarik, karena keduanya memiliki ciri khas dan sejarah yang berbeda. 

Gaya Arsitektur di Aceh, misalnya, dikenal dengan gaya Islam yang kuat dan pengaruh dari budaya Arab dan Persia, sedangkan gaya arsitektur di Medan memiliki pengaruh kolonial Belanda dan budaya Melayu yang lebih dominan(Norbruis, 2022). Dengan memahami perbedaan dan kesamaan antara kedua gaya arsitektur di dua wilayah ini, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang kekayaan budaya dan sejarah arsitektur vernakular yang memiliki pengaruh dari dalam dan luar wilayah Nusantara.

Banyak bangunan didesain dan dibangun mengikuti cara tertentu sehingga mempunyai ciri khas dari periode tertentu dalam hal bentuk bangunan utama, tata letak ruang, estetika fasad dan ornamen ruang dalam. Oleh sebab itu suatu bangunan bisa dibedakan dari bangunan lainnya yang berasal dari periode yang berbeda. Jika sekelompok bangunan menunjukkan banyak persamaan, maka diberikanlah etiket yang sama yaitu gaya arsitektur. Pemberian etiket harus dilakukan secara seksama dan hati-hati karena pemberian nama pada suatu gaya arsitektur tertentu sering membingungkan dan menimbulkan perdebatan(Norbruis, 2022).

Penelitian mengenai Arsitektur Nusantara telah menjadi topik perdebatan sejak awal diperkenalkan. Hingga saat ini, konsep ini masih menimbulkan polemik, khususnya bagi audiens ilmiah yang tetap memandangnya sebagai representasi dari arsitektur lokal lama ketimbang kumpulan pemahaman perancangannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih lanjut definisi dan posisi Arsitektur Nusantara dan mengeksplorasi persepsi audiens ilmiah terhadap konsep tersebut berdasarkan literatur yang ada. (Khamdevi & Joel, 2024)

A. Arsitektur Nusantara Islam

Arsitektur Nusantara Islam merupakan perpaduan harmonis antara unsur-unsur arsitektur tradisional Indonesia (seperti atap tumpang dan penggunaan bahan lokal) dengan nilai-nilai spiritual dan estetika Islam (seperti pola geometris, kaligrafi, dan orientasi kiblat). Arsitektur Islam merupakan wujud perpaduan antara kebudayaan manusia dan proses penghambaan diri seorang manusia kepada Tuhannya, yang berada dalam keselarasan hubungan antara manusia, lingkungan dan Penciptanya(Hidayatulloh, 2020). Berikut adalah penjelasan detail mengenai ciri-ciri estetika fasad dan tata ruangnya:

1. Estetika Fasad (Tampilan Luar) 

Fasad arsitektur Nusantara Islam berfungsi sebagai wajah bangunan yang mencerminkan identitas Islami sekaligus beradaptasi dengan iklim tropis dan budaya lokal. Berikut ciri-ciri fasad arsitektur nusantara islam:

- Atap Tumpang/Susun: Ciri paling khas pada bangunan masjid kuno di Nusantara adalah penggunaan atap tumpang yang berbentuk limas atau piramida bersusun, biasanya berjumlah ganjil (tiga atau lima). Atap ini menggantikan fungsi kubah yang umum pada arsitektur Islam Timur Tengah dan berfungsi efektif untuk ventilasi alami serta menangani curah hujan tinggi di daerah tropis.

- Tidak Adanya Menara Konvensional: Masjid-masjid awal di Indonesia seringkali tidak memiliki menara tinggi seperti di negara Timur Tengah. Fungsi menara sering digantikan oleh elemen lain atau bahkan tidak ada sama sekali. Contohnya, Menara Kudus justru menyerupai bangunan pura khas Hindu Bali, menunjukkan akulturasi yang kuat. 

- Ornamen dan Dekorasi Minim: Berbeda dengan arsitektur Islam di Persia atau Moor yang kaya akan mozaik dan ukiran rumit, fasad arsitektur Nusantara Islam cenderung lebih sederhana. Dekorasi yang digunakan sering kali berupa pola geometris, motif sulur-suluran (tumbuhan), atau kaligrafi Arab yang berfungsi sebagai sun shading (penyaring cahaya) dan pengingat akan keesaan Tuhan (tauhid). 

- Bahan Lokal: Fasad menggunakan bahan-bahan yang tersedia secara lokal, seperti kayu, bambu, dan batu alam, yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan. 

- Penggunaan Serambi: Adanya serambi (teras) di bagian depan fasad berfungsi sebagai area transisi antara ruang luar (profan) dan ruang dalam (sakral), serta sebagai area sosial dan tempat beristirahat. 

2. Tata Ruang/Layout 

Tata ruang mencerminkan hierarki ruang (sakral dan profan) serta integrasi nilai-nilai syariat Islam, seperti hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan antar sesama manusia. Berikut ciri-ciri tata ruang/Layout arsitektur nusantara islam: 

- Orientasi Kiblat: Tata ruang utama selalu berorientasi menghadap kiblat (arah Ka'bah di Mekah). Arah ini menjadi sumbu spasial yang paling penting dalam desain interior. 

- Ruang Utama Masif dan Bujur Sangkar: Denah ruang utama masjid kuno cenderung berbentuk bujur sangkar atau persegi empat dan bersifat masif. Ruangan ini berfungsi sebagai area salat utama. 

- Empat Soko Guru: Di dalam ruang utama seringkali terdapat empat tiang penyangga utama atau soko guru yang melambangkan empat sahabat Nabi atau empat penjuru mata angin, menjadi elemen struktural dan simbolis yang penting. 

- Pemisahan Ruang Sakral dan Profan: Terdapat pemisahan yang jelas antara area yang dianggap sakral (ruang salat utama) dan area profan atau publik (serambi/teras). Serambi berfungsi sebagai ruang transisi dan area berkumpul sebelum memasuki ruang utama. 

B. Arsitektur Nusantara Melayu

Arsitektur Melayu merupakan salah satu kekayaan budaya Nusantara yang berkembang kuat di wilayah Sumatra, Malaka, dan seluruh kawasan pesisir Melayu. Ciri khasnya terlihat melalui bentuk fasad, detail estetika, hingga pola tata ruang yang sarat makna budaya. Berikut adalah penjabaran mengenai karakter arsitektur Melayu dari sisi fasad dan tata ruangnya.

1. Ciri Estetika Fasad Arsitektur Melayu

- Bentuk Atap: Salah satu elemen paling ikonik dari arsitektur Melayu adalah bentuk atapnya. Atap limas dengan perabung panjang sering disebut bumbung panjang menjadi ciri utama. Kemiringan atap dibuat cukup tajam untuk mempercepat aliran air hujan, menyesuaikan dengan kondisi iklim tropis basah. Pada beberapa daerah, bagian puncak atap dihias dengan ornamen tradisional seperti tunjuk langit, sulur bayung, atau sayap layang, yang selain berfungsi sebagai elemen estetika juga memiliki nilai simbolik tersendiri.

- Ornamen dan Ukiran: Arsitektur Melayu dikenal kaya dengan ukiran dekoratif. Motif flora seperti sulur, bunga, dan daun menjadi dominan, disertai motif geometris dan kadang kaligrafi. Ukiran biasanya diaplikasikan pada pagar beranda, ventilasi kayu, serta lisplang atau papan tepi atap. Warna fasad umumnya dibiarkan alami mengikuti warna kayu, meskipun pada bangunan istana atau balai adat, warna-warna cerah dan kontras lebih sering digunakan untuk menunjukkan status sosial.

- Material Fasad: Kayu merupakan material utama dalam bangunan Melayu. Jenis yang umum digunakan antara lain meranti, cengal, dan nibung material yang banyak ditemukan di wilayah Sumatra sampai Malaka. Dinding bangunan dapat berupa papan kayu, baik horizontal maupun vertikal, sementara rumah rakyat sering memakai anyaman bambu. Sebagian besar rumah Melayu merupakan rumah panggung, berdiri di atas tiang kayu untuk melindungi penghuni dari banjir, binatang, sekaligus meningkatkan sirkulasi udara.

- Bukaan dan Ventilasi: Sistem bukaan dalam rumah Melayu dirancang untuk kenyamanan di iklim panas lembap. Jendela dibuat besar dan banyak untuk memaksimalkan sirkulasi udara, sedangkan ventilasi kayu berukir ditempatkan di atas pintu atau jendela sebagai elemen estetika sekaligus fungsional. Pintu utama berada di serambi depan dan biasanya terbuat dari panel kayu dengan ukiran khas.

- Serambi dan Tangga: Serambi depan merupakan area sosial yang penting, berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan berkumpul. Tangga menuju serambi biasanya satu atau dua, dan jumlah anak tangga sering mengikuti aturan adat tertentu.

2. Ciri Tata Ruang / Layout Arsitektur Melayu

- Rumah Panggung: Struktur rumah panggung tidak hanya berkaitan dengan kondisi alam, tetapi juga memengaruhi tata ruang. Ruang di bawah rumah sering dimanfaatkan untuk menyimpan peralatan, tempat bekerja, atau sebagai jalur sirkulasi udara yang menjaga kelembapan rumah.

- Pola Ruang Berlapis: Tata ruang rumah Melayu tersusun secara berlapis dari area paling publik hingga paling privat. Susunan umumnya meliputi: Serambi/anjung depan sebagai ruang publik untuk menerima tamu laki-laki, Ruang tengah atau Rumah ibu sebagai inti bangunan dan area semi-privat tempat berkegiatan keluarga,Ruang belakang atau dapur yang bersifat privat dan menjadi wilayah perempuan.

- Arah Orientasi: Orientasi bangunan biasanya menghadap sungai atau jalan, menggambarkan hubungan masyarakat Melayu dengan jalur transportasi air. Posisi pintu dan jendela diperhitungkan agar mendapatkan ventilasi silang yang efektif terhadap arah angin.

- Ruang Serbaguna: Interior rumah Melayu umumnya luas dan minim sekat sehingga ruang dapat digunakan secara fleksibel, baik untuk kegiatan adat, makan bersama, hingga tidur atau berkumpul keluarga.

- Tata Ruang dan Adat: Tata ruang rumah Melayu sangat dipengaruhi oleh norma budaya. Misalnya, tamu laki-laki tidak diperkenankan masuk ke ruang dalam; dapur dan area perempuan ditempatkan di bagian belakang; serta ruang khusus disiapkan untuk kegiatan adat seperti pernikahan atau musyawarah.

Discussion


Analisis perbandingan arsitektur Aceh dan Medan menunjukkan bahwa keduanya memiliki keunikan dan kelebihan masing-masing. Arsitektur Aceh yang dipengaruhi oleh budaya Islam dan Arab memiliki keindahan dan keunikan yang tidak dimiliki oleh arsitektur lain, namun juga dapat dianggap terlalu dipengaruhi oleh budaya asing. Sementara itu, arsitektur Medan yang dipengaruhi oleh budaya kolonial Belanda dan Melayu memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi, namun juga dapat dianggap sebagai warisan penjajahan.

Dari tabel diatas dapat ditunjukkan bahwa kedua gaya arsitektur islam dan melayu memiliki ciri dan karakter yang hampir sama. Dari 5 bangunan yang diteliti, dapat disimpulkan bahwa persamaan karakter yang didapat pada gaya arsitektur islam dan melayu adalah tata ruang/layout bangunan, betuk atap, dan ornamen dekoratif. disamping itu perbedaan mencolok juga diketahui dari adanya minaret/tower di gaya arsitektur islam, sementara karakter tersebut tidak ditemukan di gaya arsitektur melayu. 

Dengan adanya analisa perbandingan persamaan dan perbedaan ciri atau karakter dari kedua gaya arsitektur islam dan melayu ini, menunjukkan kemampuan masyarakat setempat dalam memadukan nilai-nilai budaya, kepercayaan, serta fungsi praktis dalam desain arsitektur mereka. Khususnya terlihat pada Rumah Adat Aceh (Rumoh Aceh) dan Rumah Adat Batak Karo di Medan, kemampuan masyarakat setempat dalam mempertahankan nilai-nilai filosofis pada gaya bangunan tersebut, menjadikan gaya arsitektur melayu tidak hanya menjadi langgam tetapi juga sebuah identitas masyarakatnya yang kuat dan berkelanjutan. 

Dengan demikian, kedua gaya arsitektur ini tidak hanya mencerminkan keindahan dan keunikan, tetapi juga merupakan cerminan dari sejarah, budaya, dan nilai-nilai masyarakat yang ada di Aceh dan Medan.

Conclusion

Dari sisi constraint (kendala), arsitektur tradisional di kedua daerah ini menghadapi tantangan seperti keterbatasan bahan bangunan alami yang tahan lama, perubahan gaya hidup modern, serta berkurangnya regenerasi pengrajin dan tukang tradisional. Selain itu, perkembangan kota dan kebutuhan ruang modern sering kali menekan keberlanjutan bentuk arsitektur tradisional. 

Namun, terdapat pula opportunities (peluang) yang besar untuk mengembangkan kembali nilai-nilai arsitektur Nusantara, terutama melalui inovasi desain yang mengadaptasi prinsip lokal ke dalam bangunan modern yang ramah lingkungan. Penerapan material lokal, konsep rumah panggung yang adaptif terhadap iklim tropis, serta ornamen bernilai simbolik dapat menjadi inspirasi untuk arsitektur berkelanjutan di masa depan. Dengan demikian, arsitektur Nusantara Aceh dan Medan tidak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga sumber pembelajaran berharga yang menghadirkan keseimbangan antara manusia, alam, dan budaya.

Kita dapat memahami bahwa arsitektur adalah kompleks dan memiliki banyak aspek yang perlu dipertimbangkan. Dalam merancang arsitektur, kita perlu mempertimbangkan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat, serta konteks sejarah dan budaya yang ada. Oleh karena itu, analisis perbandingan arsitektur Aceh dan Medan bergaya klasik, neoklasik maupun Nusantara dapat memberikan wawasan yang lebih dalam tentang pentingnya mempertimbangkan konteks lokal dan budaya dalam merancang arsitektur yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat.

Dosen: Amanda Rosetia, Ph.D.

Tim Penulis Mahasiswa Universitas Internasional Batam: Qonita Firdausy, Aiswari risa nabila, Erika sifaullail, Anisa astika putri, Ahmad Arbain, Muhammad Haikal Firdaus, Michael Saputra Gulo

Reference

Hidayatulloh, H. (2020). Perkembangan Arsitektur Islam: Mengenal Bentuk Arsitektur Islam di Nusantara. 13(2), 15–33.

Khamdevi, M., & Joel, D. B. (2024). <title/>. RUANG-SPACE, Jurnal Lingkungan Binaan (Space : Journal of the Built Environment), 11(2), 333. https://doi.org/10.24843/JRS.2024.v11.i02.p09

Norbruis, O. (2022). Arsitektur di Nusantara (Indische Bouwkunst).

Terkini