JAKARTA – Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Anis Matta, menyerukan kepada komunitas global untuk memberikan sokongan penuh terhadap upaya yang dilakukan oleh masyarakat Libya dalam menemukan jalur damai setelah bertahun-tahun dilanda ketegangan dan konflik yang berlarut-larut.
Anis Matta berpendapat bahwa kondisi di Libya saat ini telah memperlihatkan perubahan yang signifikan jika dibandingkan dengan situasi pada tahun-tahun sebelumnya.
Setelah melalui periode konflik yang panjang, pihak-pihak yang bertikai di Libya dinilai mulai menyadari bahwa peperangan bukan lagi jalan keluar, dan bahwa rekonsiliasi menjadi satu-satunya cara untuk membangun masa depan negara mereka.
“Indonesia mengajak pihak internasional untuk memberikan dukungan kepada masyarakat Libya untuk menemukan jalan damai di antara mereka,” ujar Anis Matta saat ditemui awak media usai Sidang Komisi Bersama (SKB) Kedua Indonesia–Libya di Jakarta, Senin (15/12/2025).
Menurut Anis, momentum positif ini harus dimanfaatkan untuk mendorong terbentuknya sebuah pemerintahan bersama yang lahir dari kesepakatan internal pihak-pihak di Libya sendiri, bukan dari tekanan atau intervensi pihak luar.
Indonesia, menurut penjelasannya, meyakini bahwa proses perdamaian yang dapat bertahan lama hanya akan tercapai jika berakar dari kemauan dan kehendak rakyat Libya secara mandiri.
Anis Matta menekankan bahwa dukungan dari komunitas internasional tetap dibutuhkan, tetapi harus diberikan secara proporsional.
Indonesia mendorong agar dunia global menghormati prinsip “Libya–Libya”, yaitu sebuah proses penyelesaian konflik yang sepenuhnya ditentukan dan disepakati oleh para pemangku kepentingan yang ada di Libya.
“Kami menginginkan proses itu adalah proses Libya–Libya. Artinya biar mereka menyelesaikan, dan kami pihak internasional mendukung apa pun yang disepakati oleh mereka,” tegasnya.
Latar Belakang Konflik Libya
Konflik yang melanda Libya berawal dari munculnya gelombang Arab Spring yang menyebar di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah sejak tahun 2010.
Pada awalnya, ketidakpuasan masyarakat terhadap kepemimpinan Muammar Khadafi belum muncul ke publik secara terbuka karena adanya rezim yang bersifat represif terhadap kritik.
Namun, setelah revolusi di Tunisia menjalar ke negara-negara regional lain seperti Mesir, Yaman, dan Bahrain, gelombang protes akhirnya mencapai Libya pada tahun 2011.
Rakyat mulai menuntut adanya perubahan dan menyerukan pengakhiran kekuasaan Khadafi yang dianggap semakin otoriter.
Berbeda dengan penggulingan Raja Idris I di masa lalu, gerakan pada tahun 2011 justru menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat Libya.
Sebagian warga tetap memberikan dukungan kepada Khadafi karena alasan loyalitas politik, kepentingan ekonomi, atau bahkan nostalgia terhadap stabilitas pada awal masa pemerintahannya, sementara kelompok lain bersikeras menuntut pelengseran rezim.
Perpecahan ini kemudian berkembang menjadi konflik bersenjata antara kubu oposisi dengan kelompok loyalis Khadafi, yang pada akhirnya turut melibatkan aktor internasional seperti Amerika Serikat (AS), NATO, dan Prancis.
Ketika tekanan semakin meningkat dan posisinya kian terdesak, Khadafi menolak untuk mundur dan memilih bersembunyi.
Tindakan ini memperpanjang konflik yang dampaknya terhadap kondisi politik dan keamanan di Libya masih terasa hingga saat ini.