Childfree, Perempuan, dan Karier

childfree

Keputusan perempuan untuk tidak memiliki anak (childfree), menjadi topik menarik untuk menjadi pembahasan. Bagaimana tidak, tubuh perempuan yang sudah di-setting untuk bisa “berproduksi” dan menjalankan salah satu fungsi manusia, yakni berkembang biak, tiba-tiba harus “mandeg” untuk tidak melakukan fungsinya. Kemerdekaan Perempuan, alasannya.

Jika ditinjau dari segi Biologi, tentu yang bisa bereproduksi adalah perempuan. Menjalankan ‘tugas’ untuk hamil-melahirkan-menyusui, memang bukanlah hal yang mudah. Terlebih, banyak perempuan juga merangkap sebagai ‘pencari nafkah’. Tentu, ini berbeda dengan strata sosial “wanita karir”. Perempuan pencari nafkah adalah perempuan-perempuan yang sudah harus melaksanakan tugas berkembang biak, ditambah lagi menjadi tulang punggung keluarga. Entah karena faktor ekonomi, ditinggal suami, hingga hamil di luar nikah.

Jika melihat kondisi-kondisi yang dialami perempuan seperti ini, seakan “beban” yang dipikul perempuan  sangat berat. Jika tidak bisa hamil, akan dipergunjingkan.

“Sudah nikah lama, kok gak hamil-hamil”. Kalaupun sudah hamil duluan, juga menjadi pergunjingan.

“Cepet banget, perasaan nikah baru kemarin, kok udah hamil aja. Jangan-jangan hamil duluan”. Saat hamil pun demikian.

“Jangan males-males jadi orang. Mentang-mentang hamil aja, jadi males!”

“Kok gendutan sih sekarang? Udah gt jerawatan lagi. Aku dulu kl hamil gak gt. Tetep cantik aja.”

“Kok kakinya bengkak sih? Kurang minum air putih ya? Makanya, meski hamil, olahraga dong!”

“Hamil itu harus banyak gerak. Kalau ibunya males gini, anaknya nanti juga ikutan males!” Kalaupun keguguran, juga jadi bahan gunjingan,

“Kok keguguran, makanya kalau hamil itu yang anteng!”

“Ibunya pasti gak bisa jaga kesehatan, sampai keguguran.”

Tentu, semua itu sangat melukai para perempuan. Sudah mengemban beban yang berat, masih ditambah lagi omongan orang. Belum lagi pemilihan melahirkan. Entah normal, atau caesar. Masih saja jadi bahan pergunjingan.

“Kalau lahirannya normal, nanti kendor loh. Suami gak betah.”

“Kok caesar sih lahirnya? Gak bisa nahan sakit ya? Kurang olahraga nih pasti. Kurang gerak. Gak bisa ngeden ya? Alah.. Pasti males nih ibunya.”

Kemudian, saat menyusui pun demikian.

“Kok ASI sih? Gak mampu beli susu formula ya? Kasian, gak punya duit buat beli susu.”

“Kok anaknya dikasih susu formula sih? Nanti anaknya bodoh lhoo. Lagian ibunya males, nyusuin aja gak mau”.

Kalaupun anaknya sudah gede, masih juga makhluk bernama perempuan ini tetap menjadi topik pembicaraan.

“Snaknya bu A ini nakal banget. Gak pernah dididik ya sama ibunya?”

Coba aja kalau anaknya pinter. Pasti bilangnya lain.

“Pantes aja, anaknya pinter, orang bapaknya pinter. “

See? Perempuan cuman dapat “jeleknya” doang.

Hal-hal yang seperti ini, diperlukan kedewasaan dalam menyikapinya. Arti kata perempuan yang merdeka, bukan hanya ia yang memiliki karier sukses dan memiliki uang banyak. Lebih dari itu. Perempuan yang merdeka adalah perempuan yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Artinya, ia yang memiliki bekal  untuk bertahan hidup dengan dirinya sendiri. Memiliki kesadaran diri yang tinggi dan juga memiliki kemampuan untuk menjaga kesehatan mental.

Bagaimana Childfree ini?

Keputusan untuk memiliki anak maupun tidak memiliki anak, tentu menjadi Keputusan Pilihan. Keputusan Personal. Dengan kata lain, perempuan memiliki otoritas terhadap tubuhnya. Sementara ketika perempuan sudah menikah, maka keputusan untuk tidak memiliki anak, menjadi keputusan keluarga. Artinya, keputusan suami maupun istri, dan apa tujuan keluarga tersebut.

Ketika dua orang memutuskan bersama, maka keputusan istri untuk tidak mau memiliki anak, harus sejalan dengan suami. Apabila suami menyetujui, maka tidak akan menjadi persoalan.

Carilah pasangan yang Tepat. Sehingga ia bersedia untuk menerima apapun keputusan-keputusan bersama.

Perempuan dan Karier

Bagi saya pribadi, childfree berhubungan erat dengan kondisi kesehatan dan karir. Bagaimana seorang perempuan bisa menjalankan fitrahnya mulai dari hamil, melahirkan, hingga menyusui jika kondisi kesehatannya tidak prima? Baik kesehatan mental maupun fisik. Kalaupun toh menjalankan fitrah hanya ala kadarnya, pasti bisa. Namun, kualitas anak yang dihasilkannya pun, tentu beda. Ini yang harus dipahami tiap perempuan.  Jadi, apabila memutuskan untuk memiliki anak, maka harus dipertimbangkan segala aspek dan dampaknya. Sementara alasan kedua adalah karir.

Karier adalah alasan yang paling kuat bagi seorang perempuan untuk menunda maupun tidak ingin memiliki anak. Mengapa? Karena perempuan juga berhak untuk merdeka secara karier. Memiliki posisi yang tinggi. Memiliki pencapaian yang membanggakan serta memiliki kehidupan yang layak. Apabila alasan untuk mengurangi populasi, ini adalah alasan yang “dicari-cari” untuk mendapatkan pembenaran di masyarakat.

Sebab, yang menjalani proses hamil, melahirkan, menyusui adalah perempuan. Jika ada yang memutuskan untuk tidak memiliki anak, ya sudah, tidak apa-apa. Toh ya itu keputusan personal.  Kalau seorang perempuan mau memiliki anak, apakah kamu bisa bantuin merawatnya? Menyekolahkannya sampai sarjana? mendidiknya? atau bahkan menafkahinya? Tentu tidak kan? Kamu hanya akan bisa berkomentar. Just it.

Sementara keputusan perempuan untuk memilih memiliki anak, juga bukan hal yang salah. Sebab, jika sepasang manusia sudah memilih untuk memiliki anak, tentu mereka juga sudah memperhitungkan kesiapannya. Mana biaya untuk pendidikan, mana biaya untuk sandang pangan dan mana biaya untuk kesehatan.

Keputusan untuk tidak memiliki anak (childfree) adalah suatu keputusan minoritas  yang sah sah saja. Boleh jadi, childfree memang diperlukan untuk menekan laju “angka kelahiran” dan indeks kebahagiaan anak.

Bayangkan, apabila ada seorang Ibu yang tidak bisa mengendalikan emosinya. Maka anak akan menjadi sasaran “amukannya”. Sehingga ia memilih untuk tidak memiliki anak, karena takut melukai hati dan jiwa anak. Ya, tidak apa-apa. Sementara masih banyak orang yang memutuskan menikah dan punya anak, ya tidak apa-apa. Kuncinya adalah keseimbangan.

Ada yang memutuskan untuk memiliki anak, ada yang memutuskan untuk tidak memiliki anak. Semua adalah pilihan. Namun yang paling penting adalah memilih menikah dengan pasangan yang tepat. Sebab, jika sudah memiliki pasangan yang tepat, apapun keputusan perempuan akan didukung, dan beban yang diemban oleh perempuan akan sedikit lebih ringan.

Semoga tiap perempuan di muka Bumi ini selalu dilindungi Tuhan Yang Maha Esa.

 

Penulis
Dini N Wardani, Ibu anak dua yang bahagia. Karena masih bisa menjalankan peran sebagai Ibu sekaligus pekerja dan pendidik.