JAKARTA – Isu mengenai sepinya Bali dari pelancong menjelang libur Natal dan Tahun Baru tengah menjadi topik hangat di jagat media sosial.
Menanggapi fenomena tersebut, I Putu Winastra selaku Ketua Asosiasi Agen Tur dan Perjalanan Indonesia (ASITA) Bali, membenarkan bahwa saat ini memang tengah terjadi kemerosotan angka kunjungan turis ke Pulau Dewata.
"Memang terjadi penurunan kunjungan," kata Putu, dikutip pada Rabu (24/12/2025).
Putu mengungkapkan bahwa hingga saat ini belum tersedia data pasti mengenai persentase merosotnya angka kunjungan tersebut.
Meski demikian, berdasarkan bisnis akomodasi yang ia kelola sendiri di Bali, angka keterisian kamar hanya menyentuh kisaran 10 hingga 15 persen selama Desember 2025.
"Ya, sangat turun (dibanding tingkat hunian jelang Natal dan Tahun baru 2024), traffic wisatawannya ini turun," ujar Putu.
Apa penyebab turunnya kunjungan wisatawan ke Bali?
Putu memaparkan terdapat sejumlah poin utama yang memicu melandainya jumlah kunjungan turis ke Bali pada periode libur Natal dan Tahun Baru kali ini.
Penyebab pertama, menurut penjelasannya, adalah karakter pasar wisatawan asal Eropa Barat yang cenderung tidak melakukan perjalanan jauh saat Natal dan Tahun Baru.
Hal ini karena mereka lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama keluarga di kediaman masing-masing.
Di sisi lain, Putu menyambung, kondisi berbeda terlihat pada pasar Eropa Timur yang tetap melakukan perjalanan guna menghindari musim dingin di negara asal mereka.
Penyebab kedua, menurut Putu, adalah banyaknya kabar negatif mengenai destinasi di Bali yang belakangan ini tersiar secara masif di media sosial.
"Saya juga melihat bahwa pemberitaan terhadap Bali sebagai destinasi sangat masif sekali di media sosial. Terutama hal-hal yang negatif, pemberitaan terkait dengan banjir, kemudian sampah, kemacetan, dan overtourism," ujar Putu.
Kabar-kabar miring ini, menurutnya, justru dipakai oleh negara-negara pesaing untuk mengambil keuntungan dari situasi yang ada.
Dampaknya, para pelancong akan beralih ke lokasi lain dengan menjadikan aspek keamanan serta keselamatan sebagai tolok ukur utama.
"Bali masih banyak tempat-tempat yang bagus, tidak hanya Bali bagian selatan. Ada desa-desa wisata yang juga cantik," ujar Putu.
Putu berpendapat bahwa setiap musibah yang terjadi di Bali memang harus diterima dan dikabarkan. Namun, ia menambahkan, informasi mengenai lokasi wisata alternatif juga sangat perlu dipublikasikan secara luas.
Tujuannya agar masyarakat tidak hanya menerima kabar negatif dari media sosial, melainkan juga mendapatkan asupan informasi positif tentang destinasi menarik lainnya.
"Pemerintah wajib memberikan pelurusan terhadap informasi-informasi itu. Contoh, Bali tidak hanya Kuta, Sanur, Canggu, Nusa Dua, kami juga punya Singaraja, kami punya Karang Asem, yang daerahnya cukup cantik-cantik," ujar Putu.
Selain itu, Putu melihat faktor konektivitas turut memberikan dampak pada tingkat kunjungan.
Sebagai contoh, untuk rute penerbangan jarak jauh (long flight), turis harus melakukan transit di pusat transportasi yang juga terkoneksi dengan destinasi lain di wilayah Asia Tenggara.
"Ketika dari Eropa ke Bali ini harganya jauh lebih mahal daripada ke Vietnam, misalnya, orang pasti akan memilih Vietnam," katanya.
Hal serupa juga terjadi pada segmen wisatawan domestik. Menurut Putu, tingginya tarif tiket pesawat menuju wilayah Indonesia timur, termasuk Bali, menjadi salah satu faktor yang membuat orang batal memilih Bali sebagai lokasi tujuan.
Ia menambahkan bahwa pelancong saat ini lebih memprioritaskan destinasi yang berdekatan dan memiliki aksesibilitas yang lebih simpel.
"Anggap misalnya dari Jakarta tidak perlu flight, mereka bisa naik kereta api, bisa naik mobil (ke Yogyakarta), yang mana tidak terlalu jauh. Kalau ke Bali, kalaupun naik mobil, jauh sekali," ujar Putu.